Selasa, 14 Oktober 2014

Cerpen Dul Muluk

Beremas bagi Berbari di Batas Hari
Tabuh rebana mengalun lembut. Nadanya membuncah-buncah malu, tersipuh dalam kejayaan dulu. Rebana berhenti menabuh hari. Ia tiada berdaya ketika tangan hitam legam sang penabuh takluk di bawah tekanan. Euphoria Kesultanan dan kisah Maha raja hilang menelungkup kalah. Tangan hitam legam itu tetap diam. Pasrah akan arus yang menerjang. Teriak rebana diam. Semua syair diam dalam hentakan orgen tunggal.
“pak wo, dak usah ngelamun cak itu.. payo kito bejoget.” Sapa Mansur dengan riang. Ah, bertambah pilu hatinya. Kalau penggunaan senjata api tidak dilarang di negri ini, sedari kemarin sudah dibabatnya habis pemain-pemain orgen tunggal yang tidak beretika itu.
“ lajula kau Sur, aku idak sudi begabung dengan beles-beles itu.” Dengan mantap ditinggalkannya acara hajatan saudaranya tersebut. Tanpa sapa perpisahan, tanpa salam-salam selamat, dan tanpa makan. Padahal hidangan yang disajikan sangat menggiurkan, pindang ikan patin, brengkes tempoyak, dan sambel terasi, sungguh nikmat rasanya. Seandainya Mansur tidak menyajikan tontonan laknat itu, tentu sudah dilahapnya habis seluruh hidangan tersebut.
“pak wo.. oi, pak wo.  Ai, merajuk pulo’.” Panggil Mansur lantang.
Tak dihiraukannya jeritan Mansur. Batinnya terlanjur luka ditikam kenyataan. Sorot mata bias melayang ke masa-masa silam. Masa di mana semua terasa indah. Masa di mana negeri Berbari  masih diliputi penghargaan. Masa di mana jenaka-jenaka pantun membahana di warung-warung kopi pinggir jalan yang kini telah berganti dengan perbincangan patrialis tentang pemerintah dan kebijakannya. Semua telah berubah. Elok rupa tak lagi seelok rasa. Batinya kembali terkulai.

“pati..pati.. Pak pati, pati..”
Ia tersentak. Kesadarannya kembali dari lamunan panjang. “pati pak?” tawar seorang kernek bus kota dengan bujukan setengah memaksa.
Lalu lalang kendaraan yang kian padat menciptakan suasana kota sumpek dan menggerahkan. Ia bosan. Dilangkahkannya kaki menaiki bus kota Kertapati. Sekilas didengarnya alunan orgen tunggal dari arah Benteng Kuto Besak, acara hajatan semakin meriah tampaknya. Ia tidak perduli, pergi mejauh dibawa bus kota Kertapati.
Kenyamanan yang diharapakan buyar. Bus kota penuh, tempat duduk penuh. Ia terpaksa berdiri di antara himpitan penumpang lain.  Musik berdegam-degum melantukan lagu ‘Pesona’ yang mengganggu ketentraman telinga. Bus kota melaju dengan kecepatan super membawa penumpang yang hampir keder. Asap rokok menari-nari di bumbungan atap bus kota, menertawakan manusia-manusia penghisapnya, mengitai nyawa mereka disetiap batangnya.
Sekelebat ia melihat tangan jahil meraba-raba tas seorang Ibu muda. Tentengan belanjaan ternyata membuat Ibu tersebut tidak merasakan sesosok makhluk yang mengincar dompetnya. Satu, dua, tiga, dalam hitungan detik dompet Ibu tersebut berpindah tangan.
Tidak ada yang berteriak. Semua saksi mata yang melihat hal tersebut hanya berbisik-bisik pelan.
“kesian yo Ibu itu. Untung bukan aku.”
“iyo, aku la curiga dengan lanang berjaket itu. Naek bus buru-buru, dak bawa’ tas, idak bayar pulo’ tadi.  Sekarang kito nak ati-ati nian.”
“iyo, nak ati-ati.”
Ah, tenyata mereka tidak perduli. Atau sebenarnya mereka perduli, tapi takut ditikam mati pencopet tadi.  Terserahlah mereka , Aku sendiri tidak peduli dan tidak takut mati, hanya apa untungnya jika Aku menolong Ibu tadi? Monolog diri mengantarnya hingga dipemberhentian  akhir.

Senja mulai datang ketika diketuknya pintu kayu bermotif naga melingkar. Dari dalam terdengar langkah tergesa beradu dengan hentakan kaki di lantai rumah yang terbuat dari papan jati mahoni sehingga menimbulkan bunyi gemeratak hebat bak gelombang pasang di selat Malaka.
“iyo tunggu.” Teriak nyaring suara perempuan dari dalam rumah, dan muncullah seraut wajah ayu dari balik pintu.
“Abah, dari mano bae? Sore cak ini baru bale’ ”
“ cari seseran.. sapo tau ado yang nyewo Abah pentas.”
“dapet Bah?”
“belom, sekarang wong senengnyo dengan dangdut Peah”
Siti Rafiah menatap Abahnya tercinta. Ada kecewa dan geram di sana. Abahnya tetap tidak menyerah. Dul Muluk harga mati baginya. Seharusnya Abah sadar zaman berubah, musik modern dan layar lebar lebih diminati dari pentas Negri Berbari.
“Bah, men Abah cari gawe laen bae cak mano?”
Ia tidak menjawab. Dengusan nafasnya memburu tajam, petanda betapa ia tak menyukai usul tersebut. Kedua ayah dan anak terdiam. Kaku, bingung di gulung waktu. Adzan magrib membubarkan perbincangan singkat Abdul Hamid dan putrinya itu.

Di remang-remang malam, Siti Rafiah menatap bulan dari tangga rumah kayu mereka. Purnama mengesankan dengan bius cahaya terang nan mempesona. Semilir angin membawa hawa sejuk melenakan. Abdul Hamid duduk di atas kursi goyang beranda rumah.
“napo Abah nak gawe Dul Muluk nian?”
“kau tau dak Peah, idup ini ado yang bejuang untuk kebanggan harto, ado yang bercakar-cakar cari duit untuk idup poya-poya, ado yang tipu kiri-tipu kanan untuk cari makan. Segalonyo itu ilang pas manusionyo masuk kubur. Tinggal timbangan akherat yang ngejawab balasannyo. Abah nak pengen idup ini dak sia-sia, ado kebanggan yang biso dikenang.”
Seruput kopi terakhir menutup penjelasan tersebut. Ia sebenarnya masih ingin berbincang dengan putri semata wayangnya itu, tapi sakit di dada menututnya untuk beristirahat. Tubuhnya yang renta tak sanggup lagi bergadang ria. Kebiasaan main gap dan remi di warung kopi seraya menggujat sesama dan negara hingga larut malam terpaksa harus ia tinggalkan. Ia terkulai lemah di dipan kayu tua, setua usia yang ditinggalkan kegemilangannya.

Entah mengapa tubuhnya terasa berat. Sendi-sendi tulang seperti mati rasa. Ia sadar, tapi tiada berdaya untuk menggerakkan anggota badan. Gerimicit pagi burung Gereja di balik jendela memanggil-manggilnya, tapi sekali lagi, tubuhnya tidak beranjak dari posisi tidur malam tadi.
“ya Alloh kenapo badan aku cak ini?”

“Bah, Peah pegi dulu? Kuliah pagi hari ini.” sapa Siti Rafiah dari luar pintu kamar
“iyo. Ati-ati”
“Assamulaiakum..”
“Waalaikumsallam..” jawabnya seraya mencari celah untuk bergerak.
Menit demi menit ia berusaha untuk menggerakan badan. Peluh bercucuran, kini secara perlahan ia merasakan ada perubahan. Tangan, leher, dan kepala mulai dapat bergerak lega. Kaki telah bisa ditapakkan di lantai. Dihampirinya jendela kamar dengan jalan yang terbata-bata. Disibakkannya daun jendela, menghamburlah puluhan burung Gereja dengan gemericit yang riang gembira. Ia harus sehat, perjuangannya belum selesai, tugasnya belum terlaksana dengan tuntas. Ia berhutang dengan sebuah warisan yang ditinggalkan.
Diputuskannya untuk kembali menjelajah hari ini. Ia mencari kesempatan sekecil apapun untuk menawarkan Dul Muluk. Meski zaman mengkhianatinya dalam kelambu masa lalu, ia bertekad menyibakkan dunia pada kemegahan Syair Abdul Muluk.
“pak wo, apo kabar?”
“oi, Din.. baek, alhamdullillah baek.”
“maseh ngano Dul Muluk?
Angguknya singkat.
“Men saran aku, pak wo idak usah lagi bikin pentas Dul Muluk. Idak laku pak wo. Wong sekarang itu senengnyo dengan orgen tunggal, dangdut dengen disko-disko dikit..payo ikut aku bae, kito bisnis OT”
“mokaseh Din, aku idak minat ngano orgen tunggal”
“ah.. pak wo ini, yo sudah men cak itu terserah pak wo la.” Jawab Baharudin dengan kesal dan berlalu pergi.
Dipusatkannya pikiran untuk mencari konsumen yang berminat dengan Dul Muluk. Dari satu gang ke gang lain, sampai tiada terasa seluruh pelosok kertapati telah ia kelilingi. Hasilnya nihil. Kalau tidak karena raganya yang lelah, tentu telah dilanjutkannya perjalanan ke arah plaju dan km 12. Bahkan, bila perlu dijelajahinya seluruh wilayah Palembang ini untuk menawarkan Syair Abdul Muluk kebanggaan hati.
Hari ini cukup, esok dilanjutkan lagi. Janjinya dalam hati, dan berjalan pulang merehatkan diri yang dilanda sindrom gejala putus asa dini.


Angin malam meniupkan hawa panas yang menyengat. Kipas dari sulaman daun rotan bergerak-gerak di gengaman tua Abdul Hamid, resah.
“Bah.. Abah..” dari kejauhan sayu-sayu terlihat Siti Rafiah berlari ke arah rumah
“Bah, Mei agek.. lokak.. Ari Pendidikan.. pacak Bah.. pacak kan Bah?
“apo dio kau ini Peah?”
Dengan menata nafas, Siti Rafiah menjelaskan maksudnya, “di kampus Peah  ado kegiatan nak nyambut ari pendidikan, acaranyo pentas kesenian. Abah gek ajari Peah pentaske Dul Muluk yo?” pinta Siti Rafiah dengan memelas.
Ia tersenyum. Senyum yang begitu lebar terkembang. Binar-binar tatapannya hendak meneteskan air mata keharuan. Ia tahu, kegiatan putrinya tersebut tidak akan menyumbangkan pundi-pundi bagi keuangannya. Hanya saja kesempatan menghidupkan kembali Dul Muluk yang mati suri lebih menggiurkan dibanding tumpukan rupiah.
Tuhan itu Maha Tahu, tetapi Ia menunggu. Ia menunggu.


Di pelataran latihan Dewan Kesenian Daerah (DKSS) Abdul Hamid, Siti Rafiah dan teman-temannya duduk melingkar. Semuanya khusyuk dalam dimensi negri Berbari yang dikisahkan Abdul Hamid sedari tadi. Kesunyian dan deburan debu serta sampah yang beterbangan tidak mampu mengusik mereka dari pesona Syair yang melegenda bagi rakyat Sriwijaya.
Berjam-jam pantun silih berganti menghiasi kisah. Beragam peran kesultanan dari kerajaan Berbari di Sriwijaya hingga kerajaan di negeri Berham menguak sejarah Kesultanan Sriwijaya yang mansyur kejayaannya hingga Hindustan.
dua bulan hamilnya sudah
Abdul Madjid kembali ke rahmatullah
lalu berangkat duli khalifah
dimakamkan Baginda dengan selesailah

Adapun akan istri Adinda
Dipelihara oleh duli Baginda
Sembarang kehendak semuanya ada
Sedikit tiada diberi beda
 Itu la namonyo Siti Rahma, anak Rajo Abdul Majid adiknyo rajo Sultan Abdul Hamid Syah. Pas bininyo bonteng Siti Rahma duo bulan, Abdul Majid ninggal. Nah, sudemnyo Siti Rahma diasuh Sultan Abdul Hamid Syah.”
“pak wo, namo Sultannyo cak namo pak wo?” sergah Gani, teman Siti Rafiah
“yo la.. memang samo dengen namo aku. Si Peah ini jugo namo dari Dul Muluk.”
Ketersimahaan berlanjut hingga petang menjelang.  Untuk menuntaskan kisah, Abdul Hamid mengajak rombongan teman Siti Rafiah untuk menginap di rumahnya. Ia pun mengajarkan mereka masing-masing peran dalam Dul Muluk. Ia seperti diburu waktu, seolah tak ada lagi esok untuk bertemu, atau mungkin ia memang telah merasakan sesuatu yang menghunus di kalbu.


Hari pementasan tiba. Abdul Hamid tidak dapat menyasikan pementasan karena tengah mengalami demam hebat, tubuh mengigil, dan jantung berdebar. Siti Rafiah dengan berat hati meninggalkan ayahnya seorang diri di rumah. 
Ragu merasukinya, antara Ayah dan pementasan sungguh bukan pilihan yang mudah. Apalagi ia berperan sebagai Putri Siti Rafiah dari negeri Ban, istri kedua Sultan Abdul Muluk, yang akan menyelamatkan kerajaan Berbari dan permaisuri Siti Rahma. Rafiah berulang kali mengulangi langkah ke depan pintu, galau.
 “pegi la Peah, aku idak apo-apo. Gek telat, laju urung pentas.” Desak Abdul Hamid kepada putrinya.
Akhirnya, berangkatlah Siti Rafiah dengan hati yang di teguh-teguhkan. Ketika pementasan Dul Muluk semuanya berjalan lancar. Antusias penonton begitu meriah dengan tepuk tangan yang tiada henti menggema. Bu Nurhayati, guru pembimbing Sanggar Sastra kagum dan salut dengan pementasan mereka. Tetapi, bu Nur menanyakan keberadaan Beremas sebagai salam pembuka dan penutup dalam Dul Muluk. Meski dimaklumi, tetapi kekurangan ini menjadi penganjal kebahagian yang tersembunyi.
“napo Abah idak ngenjuk tau ado Beremas.” Gerutu Rafiah dalam hati. Tiba-tiba dari kerumunan penonton, Mansur menyela dan menarik Rafiah dari atas panggung.
“Peah, Abah kau ninggal.”
Cukup satu kata. Ia tidak memerlukan penjelasan, kepalanya berdeging. Ayahnya telah tiada di hari ia mementaskan Dul Muluk kebanggannya. Seketika Rafiah tergeletak tak sadarkan diri. Di alam bawah sadarnya, Abdul Hamid  datang dengan selempang kerajaan. Ia bahagia.


“assallammulaikum Wr. Wb. Kepada yang terhormat ketua Dewan Kesenian Kota Palembang, yang terhormat, Gubernur Sumatera Selatan, bapak Alex Nurdin, dan para hadiri yang saya hormati. Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT , atas segala nikmat dan kesempatannya kali ini. ini adalah kesempatan pertama bagi saya untuk mengenalkan kembali kesenian asli Palembang Dul Muluk dalam bentuk yang dimodernisasikan sesuai dengan masalah kekinian. Pementasan Dul Muluk  ini saya dedikasikan untuk ayahanda tercinta, Abdul Hamid Syah (alm) dan masyarakat kota Palembang khususnya. Semoga dapat berkenan, dan menyadarkan kita bahwa sebuah kebudayaan adalah warisan yang tak ternilai harganya. Ini bukanlah sekedar idelisme diri, tetapi menyangkut seberapa peduli dan bermanfaatnya kita terhadap kedudayaan di nusantara ini. Demikianlah yang dapat saya sampaikan. Dengan segenap cinta, saya persembahkan pementasan Dul Muluk. Wassallamualaikum. Wr.Wb. ”
“terima kasih kepada Prof. Dr. Siti Rafiah, M.Pd atas sambutannya yang sangat berkesan. Selanjutnya, langsung kita tampilkan pementasan Dul Muluk dalam cerita ‘Istri yang Setia’ . selamat menyaksikan”

Selesai