Beremas
bagi Berbari di
Batas Hari
Tabuh
rebana mengalun lembut. Nadanya membuncah-buncah malu, tersipuh dalam kejayaan
dulu. Rebana berhenti menabuh hari. Ia tiada berdaya ketika tangan hitam legam
sang penabuh takluk di bawah tekanan. Euphoria Kesultanan dan kisah Maha raja
hilang menelungkup kalah. Tangan hitam legam itu tetap diam. Pasrah akan arus
yang menerjang. Teriak rebana diam. Semua syair diam dalam hentakan orgen
tunggal.
“pak
wo, dak usah ngelamun cak itu.. payo kito bejoget.” Sapa Mansur dengan riang.
Ah, bertambah pilu hatinya. Kalau penggunaan senjata api tidak dilarang di
negri ini, sedari kemarin sudah dibabatnya habis pemain-pemain orgen tunggal
yang tidak beretika
itu.
“
lajula kau Sur, aku idak sudi begabung dengan beles-beles itu.” Dengan mantap
ditinggalkannya acara hajatan saudaranya tersebut. Tanpa sapa perpisahan, tanpa
salam-salam selamat, dan tanpa makan. Padahal hidangan yang disajikan sangat
menggiurkan, pindang ikan patin, brengkes tempoyak, dan sambel terasi, sungguh
nikmat rasanya. Seandainya Mansur tidak menyajikan tontonan laknat itu, tentu
sudah dilahapnya habis seluruh hidangan tersebut.
“pak
wo.. oi, pak wo. Ai, merajuk pulo’.”
Panggil Mansur lantang.
Tak dihiraukannya jeritan Mansur.
Batinnya terlanjur luka ditikam kenyataan. Sorot mata bias melayang ke
masa-masa silam. Masa di mana semua terasa indah. Masa di mana negeri Berbari masih diliputi penghargaan. Masa di mana
jenaka-jenaka pantun membahana di warung-warung kopi pinggir jalan yang kini telah
berganti dengan perbincangan patrialis tentang pemerintah dan kebijakannya. Semua
telah berubah. Elok rupa tak lagi seelok rasa. Batinya kembali terkulai.
“pati..pati..
Pak pati, pati..”
Ia
tersentak. Kesadarannya kembali dari lamunan panjang. “pati pak?” tawar seorang
kernek bus kota dengan bujukan setengah memaksa.
Lalu
lalang kendaraan yang kian padat menciptakan suasana kota sumpek dan
menggerahkan. Ia bosan. Dilangkahkannya kaki menaiki bus kota Kertapati.
Sekilas didengarnya alunan orgen tunggal dari arah Benteng Kuto Besak, acara
hajatan semakin meriah tampaknya. Ia tidak perduli, pergi mejauh dibawa bus
kota Kertapati.
Kenyamanan
yang diharapakan buyar. Bus kota penuh, tempat duduk penuh. Ia terpaksa berdiri
di antara himpitan penumpang lain. Musik
berdegam-degum melantukan lagu ‘Pesona’ yang mengganggu ketentraman telinga. Bus
kota melaju dengan kecepatan super membawa penumpang yang hampir keder. Asap
rokok menari-nari di bumbungan atap bus kota, menertawakan manusia-manusia
penghisapnya, mengitai nyawa mereka disetiap batangnya.
Sekelebat
ia melihat tangan jahil meraba-raba tas seorang Ibu muda. Tentengan belanjaan
ternyata membuat Ibu tersebut tidak merasakan sesosok makhluk yang mengincar dompetnya. Satu,
dua, tiga, dalam hitungan detik dompet Ibu tersebut berpindah tangan.
Tidak
ada yang berteriak. Semua saksi mata yang melihat hal tersebut hanya
berbisik-bisik pelan.
“kesian
yo Ibu itu. Untung bukan aku.”
“iyo,
aku la curiga dengan lanang berjaket itu. Naek bus buru-buru, dak bawa’ tas,
idak bayar pulo’ tadi. Sekarang kito nak
ati-ati nian.”
“iyo,
nak ati-ati.”
Ah, tenyata mereka tidak perduli.
Atau sebenarnya mereka perduli, tapi takut ditikam mati pencopet tadi. Terserahlah mereka , Aku sendiri tidak peduli
dan tidak takut mati, hanya apa untungnya jika Aku menolong Ibu tadi? Monolog
diri mengantarnya hingga dipemberhentian
akhir.
Senja
mulai datang ketika diketuknya pintu kayu bermotif naga melingkar. Dari dalam
terdengar langkah tergesa beradu dengan hentakan kaki di lantai rumah yang
terbuat dari papan jati mahoni sehingga menimbulkan bunyi gemeratak hebat bak
gelombang pasang di selat Malaka.
“iyo
tunggu.” Teriak nyaring suara perempuan dari dalam rumah, dan muncullah seraut
wajah ayu dari balik pintu.
“Abah,
dari mano bae? Sore cak ini baru bale’ ”
“
cari seseran.. sapo tau ado yang nyewo Abah pentas.”
“dapet
Bah?”
“belom,
sekarang wong senengnyo dengan dangdut Peah”
Siti
Rafiah menatap Abahnya tercinta. Ada kecewa dan geram di sana. Abahnya tetap
tidak menyerah. Dul Muluk harga mati baginya. Seharusnya Abah sadar zaman
berubah, musik modern dan layar lebar lebih diminati dari pentas Negri Berbari.
“Bah,
men Abah cari gawe laen bae cak mano?”
Ia tidak menjawab. Dengusan
nafasnya memburu tajam, petanda betapa ia tak menyukai usul tersebut. Kedua
ayah dan anak terdiam. Kaku, bingung di gulung waktu. Adzan magrib membubarkan
perbincangan singkat Abdul Hamid dan putrinya itu.
Di
remang-remang malam, Siti Rafiah menatap bulan dari tangga rumah kayu mereka.
Purnama mengesankan dengan bius cahaya terang nan mempesona. Semilir angin membawa
hawa sejuk melenakan. Abdul Hamid duduk di atas kursi goyang beranda rumah.
“napo
Abah nak gawe Dul Muluk nian?”
“kau
tau dak Peah, idup ini ado yang bejuang untuk kebanggan harto, ado yang
bercakar-cakar cari duit untuk idup poya-poya, ado yang tipu kiri-tipu kanan
untuk cari makan. Segalonyo itu ilang pas manusionyo masuk kubur. Tinggal
timbangan akherat yang ngejawab balasannyo. Abah nak pengen idup ini dak sia-sia,
ado kebanggan yang biso dikenang.”
Seruput kopi terakhir menutup
penjelasan tersebut. Ia sebenarnya masih ingin berbincang dengan putri semata
wayangnya itu, tapi sakit di dada menututnya untuk beristirahat. Tubuhnya yang
renta tak sanggup lagi bergadang ria. Kebiasaan main gap dan remi di warung kopi
seraya menggujat sesama dan negara hingga larut malam terpaksa harus ia
tinggalkan. Ia terkulai lemah di dipan kayu tua, setua usia yang ditinggalkan
kegemilangannya.
Entah
mengapa tubuhnya terasa berat. Sendi-sendi tulang seperti mati rasa. Ia sadar,
tapi tiada berdaya untuk menggerakkan anggota badan. Gerimicit pagi burung
Gereja di balik jendela memanggil-manggilnya, tapi sekali lagi, tubuhnya tidak
beranjak dari posisi tidur malam tadi.
“ya
Alloh kenapo badan aku cak ini?”
“Bah,
Peah pegi dulu? Kuliah pagi hari ini.” sapa Siti Rafiah dari luar pintu kamar
“iyo.
Ati-ati”
“Assamulaiakum..”
“Waalaikumsallam..”
jawabnya seraya mencari celah untuk bergerak.
Menit
demi menit ia berusaha untuk menggerakan badan. Peluh bercucuran, kini secara
perlahan ia merasakan ada perubahan. Tangan, leher, dan kepala mulai dapat
bergerak lega. Kaki telah bisa ditapakkan di lantai. Dihampirinya jendela kamar
dengan jalan yang terbata-bata. Disibakkannya daun jendela, menghamburlah
puluhan burung Gereja dengan gemericit yang riang gembira. Ia harus sehat,
perjuangannya belum selesai, tugasnya belum terlaksana dengan tuntas. Ia
berhutang dengan sebuah warisan yang ditinggalkan.
Diputuskannya
untuk kembali menjelajah hari ini. Ia mencari kesempatan sekecil apapun untuk
menawarkan Dul Muluk. Meski zaman mengkhianatinya dalam kelambu masa lalu, ia
bertekad menyibakkan dunia pada kemegahan Syair Abdul Muluk.
“pak
wo, apo kabar?”
“oi,
Din.. baek, alhamdullillah baek.”
“maseh
ngano Dul Muluk?
Angguknya
singkat.
“Men
saran aku, pak wo idak usah lagi bikin pentas Dul Muluk. Idak laku pak wo. Wong
sekarang itu senengnyo dengan orgen tunggal, dangdut dengen disko-disko
dikit..payo ikut aku bae, kito bisnis OT”
“mokaseh
Din, aku idak minat ngano orgen tunggal”
“ah..
pak wo ini, yo sudah men cak itu terserah pak wo la.” Jawab Baharudin dengan
kesal dan berlalu pergi.
Dipusatkannya
pikiran untuk mencari konsumen yang berminat dengan Dul Muluk. Dari satu gang
ke gang lain, sampai tiada terasa seluruh pelosok kertapati telah ia kelilingi.
Hasilnya nihil. Kalau tidak karena raganya yang lelah, tentu telah
dilanjutkannya perjalanan ke arah plaju dan km 12. Bahkan, bila perlu
dijelajahinya seluruh wilayah Palembang ini untuk menawarkan Syair Abdul Muluk
kebanggaan hati.
Hari
ini cukup, esok dilanjutkan lagi. Janjinya dalam hati, dan berjalan pulang
merehatkan diri yang dilanda sindrom gejala putus asa dini.
Angin
malam meniupkan hawa panas yang menyengat. Kipas dari sulaman daun rotan
bergerak-gerak di gengaman tua Abdul Hamid, resah.
“Bah..
Abah..” dari kejauhan sayu-sayu terlihat Siti Rafiah berlari ke arah rumah
“Bah,
Mei agek.. lokak.. Ari Pendidikan.. pacak Bah.. pacak kan Bah?
“apo
dio kau ini Peah?”
Dengan
menata nafas, Siti Rafiah menjelaskan maksudnya, “di kampus Peah ado kegiatan nak nyambut ari pendidikan,
acaranyo pentas kesenian. Abah gek ajari Peah pentaske Dul Muluk yo?” pinta
Siti Rafiah dengan memelas.
Ia
tersenyum. Senyum yang begitu lebar terkembang. Binar-binar tatapannya hendak
meneteskan air mata keharuan. Ia tahu, kegiatan putrinya tersebut tidak akan
menyumbangkan pundi-pundi bagi keuangannya. Hanya saja kesempatan menghidupkan
kembali Dul Muluk yang mati suri lebih menggiurkan dibanding tumpukan rupiah.
Tuhan
itu Maha Tahu, tetapi Ia menunggu. Ia menunggu.
Di
pelataran latihan Dewan Kesenian Daerah (DKSS) Abdul Hamid, Siti Rafiah dan
teman-temannya duduk melingkar. Semuanya khusyuk dalam dimensi negri Berbari
yang dikisahkan Abdul Hamid sedari tadi. Kesunyian dan deburan debu serta sampah
yang beterbangan tidak mampu mengusik mereka dari pesona Syair yang melegenda
bagi rakyat Sriwijaya.
Berjam-jam
pantun silih berganti menghiasi kisah. Beragam peran kesultanan dari kerajaan
Berbari di Sriwijaya hingga kerajaan di negeri Berham menguak sejarah
Kesultanan Sriwijaya yang mansyur kejayaannya hingga Hindustan.
“dua
bulan hamilnya sudah
Abdul
Madjid kembali ke rahmatullah
lalu
berangkat duli khalifah
dimakamkan
Baginda dengan selesailah
Adapun
akan istri Adinda
Dipelihara
oleh duli Baginda
Sembarang
kehendak semuanya ada
Sedikit
tiada diberi beda
Itu la namonyo Siti Rahma, anak Rajo Abdul
Majid adiknyo rajo Sultan Abdul Hamid Syah. Pas bininyo bonteng Siti Rahma duo
bulan, Abdul Majid ninggal. Nah, sudemnyo Siti Rahma diasuh Sultan Abdul Hamid
Syah.”
“pak
wo, namo Sultannyo cak namo pak wo?” sergah Gani, teman Siti Rafiah
“yo
la.. memang samo dengen namo aku. Si Peah ini jugo namo dari Dul Muluk.”
Ketersimahaan
berlanjut hingga petang menjelang. Untuk
menuntaskan kisah, Abdul Hamid mengajak rombongan teman Siti Rafiah untuk
menginap di rumahnya. Ia pun mengajarkan mereka masing-masing peran dalam Dul
Muluk. Ia seperti diburu waktu, seolah tak ada lagi esok untuk bertemu, atau
mungkin ia memang telah merasakan sesuatu yang menghunus di kalbu.
Hari
pementasan tiba. Abdul Hamid tidak dapat menyasikan pementasan karena tengah
mengalami demam hebat, tubuh mengigil, dan jantung berdebar. Siti Rafiah dengan
berat hati meninggalkan ayahnya seorang diri di rumah.
Ragu
merasukinya, antara Ayah dan pementasan sungguh bukan pilihan yang mudah.
Apalagi ia berperan sebagai Putri Siti Rafiah dari negeri Ban, istri kedua
Sultan Abdul Muluk, yang akan menyelamatkan kerajaan Berbari dan permaisuri
Siti Rahma. Rafiah berulang kali mengulangi langkah ke depan pintu, galau.
“pegi la Peah, aku idak
apo-apo. Gek telat, laju urung pentas.” Desak Abdul Hamid kepada putrinya.
Akhirnya,
berangkatlah Siti Rafiah dengan hati yang di teguh-teguhkan. Ketika pementasan
Dul Muluk semuanya berjalan lancar. Antusias penonton begitu meriah dengan
tepuk tangan yang tiada henti menggema. Bu Nurhayati, guru pembimbing Sanggar
Sastra kagum dan salut dengan pementasan mereka. Tetapi, bu Nur menanyakan
keberadaan Beremas sebagai salam
pembuka dan penutup dalam Dul Muluk. Meski dimaklumi, tetapi kekurangan ini
menjadi penganjal kebahagian yang tersembunyi.
“napo
Abah idak ngenjuk tau ado Beremas.” Gerutu Rafiah dalam hati. Tiba-tiba dari
kerumunan penonton, Mansur menyela dan menarik Rafiah dari atas panggung.
“Peah,
Abah kau ninggal.”
Cukup
satu kata. Ia tidak memerlukan penjelasan, kepalanya berdeging. Ayahnya telah
tiada di hari ia mementaskan Dul Muluk kebanggannya. Seketika Rafiah tergeletak
tak sadarkan diri. Di alam bawah sadarnya, Abdul Hamid datang dengan selempang kerajaan. Ia bahagia.
“assallammulaikum
Wr. Wb. Kepada yang terhormat ketua Dewan Kesenian Kota Palembang, yang
terhormat, Gubernur Sumatera Selatan, bapak Alex Nurdin, dan para hadiri yang
saya hormati. Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT , atas segala
nikmat dan kesempatannya kali ini. ini adalah kesempatan pertama bagi saya
untuk mengenalkan kembali kesenian asli Palembang Dul Muluk dalam bentuk yang
dimodernisasikan sesuai dengan masalah kekinian. Pementasan Dul Muluk ini saya dedikasikan untuk ayahanda tercinta,
Abdul Hamid Syah (alm) dan masyarakat kota Palembang khususnya. Semoga dapat
berkenan, dan menyadarkan kita bahwa sebuah kebudayaan adalah warisan yang tak
ternilai harganya. Ini bukanlah sekedar
idelisme
diri, tetapi menyangkut seberapa peduli dan bermanfaatnya kita terhadap kedudayaan di nusantara ini. Demikianlah yang dapat
saya sampaikan. Dengan segenap cinta, saya persembahkan pementasan Dul Muluk.
Wassallamualaikum. Wr.Wb. ”
“terima
kasih kepada Prof. Dr. Siti Rafiah, M.Pd atas sambutannya yang sangat berkesan.
Selanjutnya, langsung kita tampilkan pementasan Dul Muluk dalam cerita ‘Istri yang Setia’ . selamat menyaksikan”
Selesai